Perempuan dan media massa

POTRET PEREMPUAN DI MEDIA MASSA 10 January 2013 - dalam Gender Oleh yayan-s-fisip POTRET PEREMPUAN DI MEDIA MASSA Oleh : Yayan Sakti S Pendahuluan Perbincangan tentang perempuan akan senantiasa menarik, apalagi jika dihubungkan dengan media massa yang setiap hari kita nikmati, dari mulai media cetak yang mulai provokatif dan media elektronik yang semakin atraktif. Perbincangan tentang perempuan tidak bisa dilepaskan dari semangat gerakan feminisme[1] yang diawali oleh persepsi perihal ketimpangan posisi Perempuan dibandingkan posisi pria di masyarakat. Di mana pria digambarkan sebagai sosok yang mendominasi (suferior) dan perempuan sebagai sosok yang didominasi (inferior). Gambaran tersebut akan lebih kasat mata ketika kita membedah media massa sebagai media sosialisasi nilai-nilai kultural suatu masyarakat. Media massa dengan jargon kebebasan ternyata tidak lepas dari semangat patriarki[2] yang tentunya memberikan implikasi pada kebijakan redaksional, baik disengaja atau tidak. Bahkan media massa dengan dunia jurnalistiknya dapat dikatakan sebagai wilayah yang paling kentara memposisikan perempuan dalam konteks dikotomisnya dengan pria sebagai “rival”-nya. Di media massa citra perempuan terasa “meriah”, ia menyita sebagian besar produk jurnalistik, mulai dari cover majalah, pajangan utama infotainment, iklan televisi sampai berita-berita yang berkenaan dengan perempuan berpolitik ataupun politik keperempuanan. Kalau kita simak tayangan infotainment yang sedang “ngetrend” saat ini atau kita lihat cover majalah hampir semuanya menampilkan perempuan, dan perempuan yang dipilih harus memiliki kriteria: cantik, muda, masih lajang, kalau sudah bersuami sedang dilanda keretakan, atau menjanda, dan lain-lain yang jarang sekali berhubungan dengan kualitas pribadi yang bersangkutan. Setuju atau tidak perempuan memang memiliki daya tarik lebih dari pria, baik sebagai pajangan sampul, pusat “gosip” atau juga sebagai nara sumber, sehingga tidak berlebihan apabila Titie Said mengatakan : “psikologi perempuan juga psikologi massa, hendaknya dipahami oleh para bapak yang kebanyakan menjadi penentu kebijakan. Bila massa ada yang diperlakukan kurang adil, lebih-lebih itu mengenai perempuan, tanpa dimintapun bangkit perasaannya”. Pernyataan ini dikuatkan dengan kenyataan yang paralel, kita bisa melihat bagaimana di masa lalu misalnya ketika Pratiwi Soedarmono (Astronot) yang secara serta merta menjadi primadona media massa saat itu, atau tragedi Marsinah, dan juga fenomena Inul Daratista atau Dewi Persik yang banyak menarik perhatian media. Perempuan di Media Massa ; Subyek atau Obyek-kah ? Bila dilihat dari intensitas dan hingar bingarnya sorotan media massa terhadap perempuan, maka bagi media massa posisi perempuan lebih penting dibandingkan pria. Isu-isu emansipasi dan peran ganda yang sering direkam dan diulas media massa selalu dikaitkan dengan dunia kaum Hawa dan hampir tidak pernah disinggungkan dengan kaum Adam sebagai mitranya. Kenyataan tersebut menggambarkan seolah-olah dunia perempuan lebih “bermasalah” dibandingkan pria, sehingga pembahasannya tidak pernah ada habisnya. Antropolog Kartini Syahrir mengatakan bahwa Perempuan menjadi perbincangan, karena ia di samping menjadi subyek juga menjadi obyek, di dalam kediriannya, perempuan mengaktualisasikan pikiran-pikiran, kehendak-kehendak, dan tujuan hidupnya. Tetapi di lain pihak, karena wujud fisik yang dimilikinya, dia menjadi “sasaran tembak” dari anggota masyarakat di mana ia berada. Dan posisi kedua inilah yang yang sering dialami perempuan. Dalam perannya sebagai obyek ini, perempuan dilihat sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan gerak dan dia berfungsi tak lebih dari sekedar pemenuh kebutuhan ekonomi, sosial, dan rohani dari anggota masyarakat. Pemikir Perancis, Beauvoir, mengatakan dalam masyarakat, perempuan senantiasa digambarkan berada dalam kehidupan yang serba kepasifan, sehingga sub-ordinasi perempuan terhadap pria pun dianggap sebagai sesuatu yang alamiah. Di dunia jurnalistik, kondisi ini sedikit banyak terpantul, karena Perempuan lebih banyak terlibat dalam fungsinya sebagai cover dan model majalah atau sumber untuk diberitakan atau “digosifkan” daripada sebagai penuang gagasan. Kentalnya peran sebagai obyek ini juga akan dapat terasa jika kita melihat bahasa yang digunakan media massa yang sebenarnya sangat berpengaruh pada persepsi dan cara pandang pembaca atau pemirsa terhadap sesuatu hal. Bahkan bahasa berpengaruh terhadap gerak fisikal manusia yang menggunakan, lewat sugesti-sugesti yang diberikan oleh kata tertentu. Bahasa dengan “kekuatan tersembunyinya“ mampu melestarikan nilai dalam masyarakat dan mendorong masyarakat melakukan aksi-aksi sosial berdasarkan keyakinan yang dikristalkan dengan bahasa. Maka ketika bahasa digunakan oleh media massa maka ia memiliki tanggung jawab “lebih”, karena akan dikonsumsi dan berpengaruh memperkuat stereotype pada pemirsa yang sangat banyak dan heterogen. Dalam tingkat konsep, media massa kita seperti tak sadar dan tidak tahu bahwa pelaporannya menggunakan bahasa yang “merendahkan” perempuan. Pembicaraan perempuan oleh media massa hampir selalu dikaitkan dengan: bagaimana mengatur waktu untuk suami dan anak, bagaimana tanggapan suami tentang kariernya, dan sebagainya. Sebaliknya untuk pria pertanyaan yang biasanya muncul adalah “apakah istri Anda berperan untuk mendukung karier Anda ?”. Kemudian pemberitaan perempuan selalu berkutat dalam masalah yang remeh-temeh yang seakan-akan sudah menjadi “citra” seorang perempuan, misalnya: penampilan, pakaian, jenis parfum, rahasia kelembutan dan keluwesan, koleksi pakaian, hiburan dan lain-lain. Apabila ada tokoh yang sukses atau menjadi public figure maka isi pemberitaan media selalu berbeda, bila pria sukses dia akan ditanya tentang keberhasilannya, cara meraih keberhasilan, apa cita-cita dan obsesinya serta pandangan-pandangannya tentang suatu persoalan. Sebaliknya pada perempuan sedikit sekali ulasan tentang jalan mencapai keberhasilannya, yang sering muncul adalah: adakah dampak keberhasilan terhadap “kodrat” keperempuanannya, Bagaimana anak-anaknya?, Bagaimana penilaian orang tentang keberhasilan dan kariernya?. Media Penuh Gincu Sensasi Tanpa Pacu, Penuh Sensasi Tanpa Prestasi, Jangan “Beli”! Di antara uraian di atas, hal yang paling menyedihkan adalah bahasa yang digunakan media massa ketika menulis tentang perempuan seakan-akan ia sedang menulis sebuah obyek yang hanya dilihat secara kasat mata seputar fisik, keelokan tubuh, ukuran sepatu, ukuran pinggang - dada - pinggul, dan hal-hal lain yang tidak penting untuk di-ekspose ke publik. Kenyataan ini akan lebih transparan apabila kita menonton tayangan infotainment atau membaca yellow paper (koran kuning) yang kebanyakan “mengeksploitasi” perempuan untuk sebuah kepentingan yang namanya rating (untuk acara televisi) dan tiras (untuk media cetak). Lantas, apakah kita berhak membebankan semua kesalahan ini kepada pengelola media massa? Sepertinya kurang bijak apabila kita hanya menyalahkan realitas ini pada media massa, meskipun media massa punya saham dalam patologi sosial ini, tetapi bukankah media massa punya dua peran sebagai cermin (mirror) dan juga pembentuk (moulder) persepsi dan selera masyarakat? Di samping itu, media juga harus hidup dari iklan yang akan meningkat ketika tiras dan rating menanjak? Lalu bagaimana dengan saham masyarakat sebagai “penikmat” isi media massa? dan yang lebih penting adalah bagaimana peran pemerintah sebagai pemegang kebijakan ? Ada yang perlu dikoreksi di dalam masyarakat kita, di mana mereka lebih tertarik pada hal-hal yang sensasional dibandingkan hal-hal yang rasional. Implikasinya media massa yang sensasionallah yang akan maju dan tumbuh kuat. Dalam acara televisi kita dapat lihat 30 persen acaranya adalah infotaiment, artinya sangat digemari masyarakat. Laporan Media Scene 2007 menunjukkan prestasi “Lampu Merah” atau Tabloid “Check and Recheck” yang langsung menanjak atau kita masih ingat bagaimana cepatnya penambahan tiras Tabloid SENANG yang mencapai tiras 500 ribu ekslempar dalam waktu yang sangat singkat. Ada sebuah ilustrasi sederhana ketika sebuah majalah yang biasa menghiasi sampul depannya dengan perempuan cantik suatu ketika mengganti cover-nya dengan gambar lain. Hasilnya penjualan majalah tersebut merosot drastis karena cover-nya tidak sesuai “selera” massa. Jadilah media tersebut berpikir dua kali untuk menampilkan sosok perempuan sebagai pribadi yang utuh, dan kembali memilih sisi “menarik” perempuan yang digemari “selera” massa. Maka sudah saatnya kita berpikir ulang dalam mengkonsumsi media sehingga sikap permissif sebagai citra masyarakat Timur dapat dihilangkan, artinya kita harus berani meninggalkan kebiasaan membeli dan menikmati media cetak penuh gincu tanpa pacu, dan mematikan tayangan televisi sensasi tanpa prestasi. Kebebasan Pers dan Hak Publik Gegap gempita reformasi sangat dirasakan di media massa sehingga mendapat kemudahan dalam berbagai hal, tidak ada SIUPP untuk media cetak dan liberalisasi media elektronik. Sayangnya kebebasan tersebut tidak diimbangi dengan pentingnya hak publik untuk mengetahui informasi publik dan bukan informasi privat yang sensasional. Urusan publik yang seharusnya diekspose sehingga mampu meningkatkan critical mass dalam masyarakat. Kalau di zaman dulu orde baru tantangannya adalah berbagai hambatan baik dari elit penguasa formal ataupun penguasa informal, kini bergeser pada pemaksaan kehendak melalui massa sehingga terjadi ”pendudukan” kantor media massa seperti kasus Jawa Pos oleh pendukung Gus Dur atau penyerangan Indo Pos oleh kelompok penguasa informal, Hercules menunjukkan titik balik yang sama bahayanya dengan model breidel masa lalu. Tekanan dan pembatasan terhadap media massa oleh penguasa formal seperti di zaman orde baru dan penguasa informal seperti yang terjadi pasca reformasi berdampak pada pencarian alternatif bagi para pekerja media yang mengakibatkan para pekerja media massa mencari celah lain yang memungkinkan mereka terhindar dari tekanan, dan celah tersebut adalah mengangkat berita-berita pribadi (private) sensasional yang relatif mampu menjadi penyelamat merosotnya tiras dan rating media. Kalau itu yang terjadi maka Hak Publik terhadap akses informasi akan menjadi terbatas karena informasinya tidak terlalu bermanfaat, dan Hak Pribadi (privacy) yang seharusnya terlindungi akan terganggu karena semakin diekspose tanpa ”keruan”. Akhirnya media massa akan mirif papparazi dan semakin jauh dari harapan melaksanakan fungsinya yang mulia sebagai “the fourth estate” yang memiliki tugas sebagai alat kontrol sosial, kritik dan koreksi yang konstruktif terhadap perkembangan masyarakat. ________________________________________ [1] Feminisme berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan [2] Walaupun jumlah majalah pria tidak banyak tetapi sebagian besar jurnalis terdiri dari pria apalagi surat kabar dan televisi. http://yayan-s-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-70745-Gender-POTRET%20PEREMPUAN%20DI%20MEDIA%20MASSA.html  Dunia jurnalistik adalah dunia yang penuh tantangan. Diperlukan tekad dan mental yang kuat untuk menggelutinya. Pekerjaan ini mayoritas dipegang oleh laki-laki, apalagi yang menyangkut dunia kewartawanan. Profesi sebagai wartawan dianggap penuh resiko, karena menyangkut keselamatan diri yang menjadi taruhannya. Banyak kasus wartawan yang ditawan karena menguak peristiwa rahasia dimana orang yang bersangkutan tidak ingin informasinya tersebar luas kepada khalayak. Terutama pada zaman Soeharto, saat itu kebebasan pers sangat tekekang. Media massa berada dalam kawasan penuh pemerintah, dimana para wartawan tidak bisa menyajikan berita macam-macam tentang kepemerintahan, terutama menguak otoritas Soeharto dibalik kekuasaan pemerintah. Segala pemberitaan mengenai kepemerintahan dikontrol penuh oleh pemerintah, jadi informasi di media massa mengenai hal tersebut merupakan rujukan langsung dari pemerintah. Apabila ada media massa yang memberitakan hal buruk mengenai pemerintah, maka media massa tersebut terancam dibredel alias dibubarkan. Begitulah kurang lebih nuansa dunia kejurnalistikan di Indonesia pada masa Orde Baru. Hal ini mungkin menjadi salah satu alasan kenapa profesi wartawan selalu didominasi oleh kaum laki-laki. Namun dewasa ini, perempuan-perempuan Indonesia mulai merambah ke dunia yang semula hanya didominasi oleh kaum laki-laki seperti, otomotif, elektronik, politik dan tentu saja jurnalistik. Hal ini terjadi sebagai salah satu bentuk pembuktian emansipasi atau persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Memang kuantitas jurnalis perempuan masih minim bila dibandingkan dengan laki-laki, perbandingannya kurang lebih 91,4% pria dan 8,6% wanita. Tetapi jumlah ini mununjukkan eksistensi perempuan dalam berbagai bidang terutama jurnalistik. Sebelumnya, eksploitasi terhadap perempuan di media massa terlihat secara terang-terangan dan vulgar dengan dalih artistik dalam kehidupan masyarakat. Bahkan hal ini berlanjut sampai sekarang. Dampaknya adalah perempuan yang menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Perempuan sebagai objek media massa merupakan kenyataan ketidakadilan gender. Hal ini berawal dari budaya patriarki yang sudah mendarah daging di negara kita. Selain dalih nilai dan norma budaya, persepsi kedudukan pria dan wanita dalam perspetif agama tidaklah sama. Tercermin dari dogma-dogma dimana seorang wanita terutama para istri yang diharuskan untuk tunduk dan patuh terhadap suami. Penggambaran perempuan di sejumlah media massa, masih didominasi berita kekerasan terhadap perempuan, sementara pemberitaan mengenai kiprah perempuan masih berada di bawahnya. Pemberitaan tentang perempuan di media massa dan televisi pun masih menonjolkan peran perempuan di ranah domestik daripada ranah publik. Masih banyak media-media yang tetap menjadikan perempuan sebagai objek dan cenderung mendiskreditkan perempuan, semuanya karena kepentingan rating dan kapitalisme. Sementara pemberitaan mengenai kiprah perempuan masih kurang. Dengan mulai merambahnya perempuan ke dunia kejurnalistikan, mungkin dapat mengurangi bahkan menghapus pemberitaan-pemberitaan yang berbau ekploitasi terhadap perempuan melalui media massa. Memang banyak sekali para wanita tuna-susila yang juga memanfaatkan media massa untuk mempromosikan tidak asusilanya demi meningkatkan penghasilan dan terkesan lebih elit. Dengan bermacam-macam dalih mereka melakukan hal tersebut, baik secara tertutup maupun terang-terangan. Apalagi di media internet, dimana semua foto, video atau bentuk dokumen-dokkumen lainnya dapat diakses secara bebas dan gratis. Miris sekali melihat kenyataan seperti ini. Para artis berlomba-lomba meminimalisir kain yang dia gunakan sebagai pakaian dan memamerkan auratnya di media massa. Terjadi kesalahan pemahaman dalam mengartikan profesionalisme pekerjaan. Mereka mengorbankan nilai-nilai akidahnya demi popularitas yang ia dapat belum lagi jam terbang yang bertambah dan mengantrinya tawaran-tawaran kontrak kerja yang nilainya berpuluh-puluh juta rupiah. Sebenarnya didunia semoderen ini banyak sekali pekerjaan yang jauh lebih layak bagi para wanita. Tidak sekedar menjual tubuhnya demi sesuap nasi, tapi lebih dari itu. Kita sebagai wanita pasti bisa melakukan hal yang luar biasa membuktikan kepada dunia kalau kita bisa, bisa merubah dunia. Ikut berperan dalam pembangunan negara dan menjadi pemeran utama bukan hanya sebgai aktor pendukung saja. Salah satu contoh jurnalis wanita yang telah merambah ke dunia internasional adalah Yayu Yuniar. Ia adalah seorang jurnalis internasional di Wall Street Amerika. Yayu sebelumnya pernah merasakan bagaimana menjadi wartawan surat kabar lokal dan nasional. Dan sekarang ia telah membuktikan eksistensinya di dunia internasional sebagai wartawan yang profesional, mampu mengkondisikan diri dalam tugas berbahaya sekalipun. “Selalu ada jalan bila kita mempunyai kemauan keras”, ujarnya. Tidak hanya beliau, selanjutnya giliran kita yang akan menggantikan serta meningkatkan kualitas dan kuantitas wanita luar biasa seperti Mba Yayu Yuniar. [Khestin Pratiwi/Jurnalistik B 2010] http://www.jurnalposonline.com/?p=1239  Artikel perempuan dan media massa Perempuan Harus Maju di Bidang Media Massa Evafariha.blogspot.com Dewasa ini peran perempuan dalam berbagai bidang pekrjaan mulai berkembang pesat. Paradigma yang dulu sangat melekat dalam pikiran masyarakat bahwa ruang gerak perempuan hanya terbatas pada sumur, kasur, dan dapur kini mulai luntur dalam pikiran mereka, terutama pada masyarakat modern diperkotaan. Maka tidak heran pada zaman demokratis ini banyak perempuan yang berkarir diluar rumah. Para perempuan sudah mulai berani dan leluasa bekerja dibidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, bahkan di bidang politik. Sekarang kaum perempuan juga sudah mulai menjamah dunia media massa, terutama dalam bidang jurnalistik atau pers. Tak aneh jika banyak media massa yang memposisikan perempuan sebagai objek dan cenderung mendiskreditkan perempuan. Semua ini karena kepentingan reting dan kapitalisme. Perempuan dijadikan sebagai alat untuk menarik massa atau khalayak. Terutama dalam dunia pertelevisian, terlihat jelas jika perempuan hanya dijadikan pemanis dan objek media massa agar reting acara tersebut tetap bisa berada diatas. Ironisnya lagi media pers hanya memanfaatkan fisik perempuan saja. Contohnya banyak iklan-iklan yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh perempuan agar produk tersebut laku. Sebagian media juga membuat kesan seolah-olah perempuan hanyalah sesosok manusia yang lemah dan mudah diperdaya oleh siapa saja. Padahal kan tidak semua perempuan itu lemah dan mudah diperalat. Generalisasi gender ini lah yang selalu membuat perempuan tak bisa beraktivitas dengan leluasa. Karena mereka hanya dipandang sebelah mata. Faktanya saat ini banyak perempuan berbakat yang mempunyai kemampuan yang lebih baik daripada kaum pria. Akan tetapi mengapa media massa kurang menyoroti hal ini? Pemberitaan tentang perempuan di media massa dan televisi masih menonjolkan peran perempuan diranah domestik daripada ranah publik. Penggambaran perempuan di media massa juga masih didominasi oleh berita-berita kekerasan terhadap perempuan, sementara pemberitaan mengenai kiprah perempuan masih berada dibawahnya. Lahirnya stigma miring terhadap perempuan secara langsung ataupun tidak berdampak pada aktivitas perempuan diruang publik. Dan pers memegang peranan yang sangat besar dalam idanga persosialisasi nilai dimasyarakat, termasuk dalam bidang seksual. Pers mempunyai kekuatan besar dalam mempengaruhi dan merubah gaya hidup masyarakat. Terutama pada masyarakat yang sanagat konsumtif dalam hal fashion, dan teknologi. Oleh karena itu peran perempuan yang bergelut di dunia pers sangatlah berpengaruh besar. Mereka juga harus peka dan peduli terhadap maslah ini karena beberapa alasan berikut ini : Pertama, mayoritas masyarakat kita belum terdidik dan cerdas dalam memilah-memilih informasi yang sampai kepadan masyarakat. Kedua, dengan alasan popularitas seorang perempuan dengan senang hati memamerkan auratnya dihadapan publiki. Ketiga, dikalangan beberapa artis serta foto model tercipta sigma yang salah tentang arti profesionalisme kerja di bidang kerja mereka. Keempat, anggapan bawa pose-pose vulgar perepmpuan yang ada dimedia mass merupakan perwujudan nilai seni. - See more at: http://evafariha.blogspot.co.id/2013/04/artikel-coba-coba.html#sthash.Z9wZv3BA.dpuf   Sosok Perempuan dalam Media Massa Berbagai penelitian tentang perempuan dalam media massa nyaris semuanya menunjukkan wajah perempuan yang kurang menggembirakan. Perempuan sering digambarkan sebagai sosok yang penuh derita, noda dan terdiskriminasi.Media massa, khususnya televisi, menampilkan perempuan sebagai sosok yang lemah, pasif dan tidak berdaya. Padahal perempuan pun sama dengan laki-laki sebagai manusia utuh yang terdiri atas badan dan jiwa serta bebas menentukan sikap dan menjadi dirinya sendiri. Sejumlah kalangan menilai, pemberitaan tentang wanita pun masih sedikit, sehingga terjadi ketimpangan informasi. Isu seputar perempuan seperti kesetaraannya dengan laki-laki, terutama dalam sektor publik, memang sudah menjadi kebijakan pemerintah. Tak kurang dari regulasi tentang perempuan dan pembentukan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang mengurusi masalah-masalah kaum perempuan . Tapi, kondisi aktual masyarakat saat ini kurang mendukung upaya penyetaraan itu. Masyarakat kita masih menganut ideologi dan nilai-nilai patriarki, yang menganggap posisi laki-laki lebih dominan ketimbang perempuan. Bahkan, perempuan masih dianggap sebagian besar orang sebagai subordinat dari sebuah sistem. Lewat keadaan seperti ini, tentu saja yang menjadi korban adalah perempuan. Namun, media massa kita belum mengungkapkan bias gender itu. Menurut anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), Jawa Barat, DR Atie Rachmiatie, MSi, berdasarkan penelitian dan pengamatan acara-acara di stasiun televisi (TV), maka terjadi bias informasi. Akibatnya, 61 persen acara menggambarkan fungsi dan profesi perempuan sebagai orang yang tidak bekerja. Sisanya, 39 persen menggambarkan perempuan karier dengan pekerjaan yang pantas untuk perempuan seperti sekretaris (Pikiran Rakyat, 25 Agustus 2007). Baik media massa cetak (surat kabar, tabloid dan majalah) dan elektronik (TV dan film) masih menggambarkan sosok perempuan seperti yang diungkapkan DR Thamrin Amal Tomagola (1990), yakni berkisar seputar 5-P: pigura, pilar, peraduan, pinggan, dan pergaulan. Pigura menyangkut kecantikan dan pemikat secara biologis, pilar sebagai pengelola rumah tangga, peraduan yakni yang berhubungan dengan seks, pinggan yaitu berkaitan dengan dapur dan pergaulan untuk urusan publik sebagai pendamping lingkungan kerja. Pemberitaan tentang wanita pun seringkali menyangkut sektor domestik, yang sudah menjadi kodrat perempuan, misalnya mengenai kecantikan, mengatur waktu antara karier dan keluarga dsb. Pencitraan perempuan seperti itu dapat dilihat saat media massa memproyeksikan perempuan. Tidak sedikit dalam media iklan, halaman depan tabloid, dan majalah hiburan yang menampilkan wajah dan bentuk tubuh perempuan sebagai daya tarik. Begitu pula dengan sinetron-sinetron dan film masih juga menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang lemah, tergantung pada pria, yang hanya di rumah dan peran utamanya hanyalah menyenangkan kaum pria. Selain itu, banyak pula perempuan yang dianggap sebagai simbol seks. Sosok perempuan dalam media massa seperti itu tentu saja menunjukkan stereotip yang merugikan mereka. Dalam TV, gambaran perempuan tanpa pekerjaan, sebanyak 65 persen digambarkan sebagai pigura (pajangan atau dekorasi), rekreasi 34 persen dan keluarga 1 persen. Seandainya sinetron menampilkan image (citra) perempuan yang positif, maka akan sangat berpengaruh pada pemikiran kaum wanita baik dalam peran publik maupun domestiknya. Lantas kenapa media massa masih menggambarkan sosok perempuan seperti di atas? Apakah yang ditampilkan media massa (cetak dan elektronik) sebagai cerminan realitas perempuan dalam masyarakat? Selain karena kuatnya budaya patriarki, juga praktisi media, baik pemilik, sutradara, penulis skenario, produser, maupun jurnalis (wartawan) masih didominasi oleh kaum laki-laki. Kenyataan ini berdampak kepada perspektif yang dipakai media massa. Sebagai contoh, tahun 2007 perempuan jurnalis di Indonesia hanya 8,6 persen dan sisanya 91,4 persen adalah laki-laki. Masyarakat tontonan Di dalam masyarakat tontonan (society of spectacle), perempuan berfungsi dominan sebagai pembentuk citra (image) dan tanda (sign) berbagai komoditas (misalnya salesgirl, covergirl dan modelgirl). Menurut Guy Debord, seperti dikutip Yasraf Amir Piliang (1998), masyarakat tontonan adalah masyarakat yang dalam dirinya setiap sisi kehidupan menjadi komoditas. Setiap komoditas itu menjadi “tontonan”. Dalam masyarakat tontotan, tubuh wanita sebagai objek tontonan untuk menjual komoditas - atau tubuh itu sendiri sebagai suatu komoditas tontonan – mempunyai peran yang sangat sentral. Menjadikan tubuh sebagai tontonan bagi sebagian perempuan adalah jembatan atau jalan pintas untuk masuk ke dunia populer, meraih popularitas, mengejar gaya hidup, dan buat mencapai kepuasan material. Dalam kondisi ini, perempuan tanpa menyadari sesungguhnya mereka telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia marjinal yakni dunia objek, dunia citra, dan dunia komoditas. Karena pencitraan perempuan dalam masyarakat tontonan seperti itu, kerap media massa khususnya TV, dituduh hanya menampilkan perempuan sebagai pemikat biologis semata. Inilah yang acapkali dilontarkan kaum feminis sebagai kritikan kepada media massa. Bagaimanapun, media massa memiliki manfaat yang cukup penting dalam masyarakat. Tokoh emansipasi kita, RA Kartini yang hari kelahirannya 21 April diperingati setiap tahun sebagai Hari Kartini pun, mendobrak tradisi yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat kaum wanita lewat bacaan-bacaannya yakni majalah wanita ketika itu. Karena itu, gambaran positif tentang perempuan dalam media massa akan memperbaiki citra mereka. Menyangkut, sedikitnya media menampilkan sosok perempuan, menurut Akhmad Zaini Abar, lebih disebabkan faktor struktural, yakni realitas sosial bahwa laki-laki lebih banyak menciptakan peristiwa yang layak menjadi berita ketimbang perempuan. Media massa berfungsi menyampaikan fakta. Karena itu, gambaran perempuan dalam media massa merupakan cermin realitas yang ada dalam masyarakatnya. Kata orang, mengharapkan setara dalam segala sesuatu adalah sebuah utopia. Meskipun, kaum wanita bisa saja berdalih itu adalah cita-cita dan perjuangan. Ketimbang mempersoalkan terus-menerus mengenai. kesetaraan gender, feminis – maskulin dsb., alangkah lebih baiknya jika perempuan lebih menunjukkan prestasi, karya, kecakapan dan peran dalam masyarakat yang tidak kalah dengan kaum laki-laki. Sehingga, gambaran ideal tentang perempuan pun akan tampil dalam media massa (Ari Hidayat) (Dimuat di SKH Kabar Priangan, 16 September 2008) http://arihidayat-arihidayat.blogspot.co.id/2012/04/sosok-perempuan-dalam-media-massa.html  Objektifikasi Perempuan oleh Media: Pembakuan Identitas Perempuan dan Dominasi Kekuasaan Laki-laki 3/3/2015 1 Comment Manggala Nayahi (Mahasiswi FISIP Universitas Indonesia) wmanggalanayahi@gmail.com Dok. Pribadi Pencitraan Perempuan oleh Media: Eksploitasi Tubuh Perempuan sebagai Objek Kepuasan Lelaki Media massa, sebagai sumber informasi dan rekreasi, telah menjadi bagian penting dalam kehidupan di era teknologi. Manusia hidup bersama dengan media dan dalam prosesnya juga dibombardir berbagai hal dan informasi oleh media. Media sanggup memberikan berbagai macam hal baru bagi para penggunanya, bahkan dalam beberapa fenomena, media juga dapat mengubah serta mengarahkan situasi sosial dari masyarakat penggunanya. McQuail (2004) menyebutkan[1] “Mass communication brings about or facilitates the existence of mass audiences, consensus on opinions and beliefs, mass consumer behavior, mass politics and other features of the so-called mass society.” Jadi, media mampu menimbulkan adanya audiens atau konsumen dalam jumlah banyak, serta mampu menyamakan opini dan kepercayaan serta sikap dari penggunanya. Dalam hubungannya dengan kehidupan sosial manusia, pengaruh media massa juga terasa pada kehidupan sosial perempuan. Stigma dan stereotip yang terbentuk di masyarakat mengenai perempuan sedikit banyak dipengaruhi oleh media. Media menyajikan citra perempuan secara arbitrer atau sewenang-wenang, seringkali tanpa memikirkan dampak yang bisa timbul dari citra yang dibangun tersebut. Citra perempuan yang dibangun dalam media disesuaikan dengan kebutuhan para pelaku bisnis dan industri yang berada di belakang layar. Seringkali perempuan dijadikan objek agar tujuan industri tercapai, misalnya rating yang tinggi. Perempuan dijadikan sebagai objek melalui cara yang bervariasi. Cara yang paling ampuh dan paling sering digunakan adalah dengan melakukan eksploitasi berlebihan terhadap tubuh perempuan. Menurut Sharma (2012), “Although the media has played an important role in highlighting women’s issues, it has also had negative impact, in terms of perpetrating violence against women through pornography and images of women as a female body that can be bought and sold.” Eksploitasi tubuh perempuan yang divisualisasikan dalam bentuk konten media seolah-olah menjadikan tubuh perempuan sebagai alat tukar dengan keuntungan pelaku industri. Tubuh perempuan yang diekspos oleh media menjadikan perempuan sebagai objek yang bisa diperjualbelikan, dengan timbal balik berupa rating, laba industri, peningkatan pengguna media massa dan seterusnya. Fredrickson dan Roberts (1997) membuat sebuah teori yang bernama Objectification Theory. Asumsi pusat dari teori ini adalah “...that women exist in a culture which their bodies are ‘looked at, evaluated, and always potentially objectified”. Kultur di dalam masyarakat yang kemudian sampai kepada media dan segala alur konten di dalamnya—juga sebaliknya, penggambaran dari media yang sampai kepada masyarakat—selalu menempatkan tubuh perempuan sebagai salah satu hal yang bisa ditangkap oleh mata dan kemudian dijadikan objek. Identitas perempuan dan laki-laki juga seringkali dibedakan dalam kemunculan mereka di media. Terlihat perbedaan dalam ditampilkannya citra laki-laki dan perempuan oleh media. Laki-laki biasa berperan sebagai subjek, yang memiliki kendali dan hasrat terhadap perempuan, sedangkan perempuan berperan sebagai objek, terlebih objek fantasi laki-laki, yang mempertontonkan bagian tubuhnya agar laki-laki mendapatkan kepuasan. Situasi ini yang digambarkan dalam banyak iklan, film, gambar, suara dan jenis-jenis bentuk visual maupun auditori lainnya dalam media massa. Contoh iklan yang menunjukkan adanya perbedaan situasi tersebut adalah iklan parfum laki-laki, Axe. Dalam iklan-iklan Axe, storyline iklan adalah seorang laki-laki yang sedang menyemprotkan parfum ke tubuhnya, dan tidak beberapa lama berselang, beberapa perempuan berpakaian minim dengan kostum bersayap jatuh dari langit-langit ruangan tempat dimana laki-laki tersebut berada. Setelahnya, perempuan-perempuan tersebut mulai menempelkan tubuh mereka pada tubuh si laki-laki dan ekspresi wajah si laki-laki kemudian berubah menjadi senang. Hal lain yang menunjukkan bahwa perempuan dijadikan objek dalam industri dan media adalah ketika perempuan banyak sekali muncul dengan pose vulgar dan pakaian yang seksi dalam iklan-iklan mobil mewah. Selama ini dalam media mobil mewah diasosiasikan sebagai salah satu bentuk maskulinitas, salah satu produk milik lelaki. Namun dalam iklan komersial mobil-mobil mewah tersebut banyak ditonjolkan visual perempuan yang seksi, biasanya digambarkan sedang duduk di atas kap mobil atau di dalam mobil. Selain itu, biasanya dalam iklan, para perempuan akan mulai mendekati lelaki ketika lelaki tersebut sedang membawa mobil mewahnya. Situasi seperti ini menunjukkan bahwa perempuan adalah “sesuatu” yang dapat dibeli atau dibuat mendekat dengan cara yang mematenkan maskulinitas lelaki, salah satunya dengan jalan mempunyai mobil mewah. Lelaki seolah mempunyai kekuasaan terhadap perempuan karena mampu membuat perempuan “tunduk” dihadapannya. Iklan lain yang sangat menonjolkan ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan adalah iklan “obat kuat” atau stimulan seksual. Dalam iklan stimulan seksual, biasanya perempuan digambarkan sebagai pribadi yang tunduk, kalah dan harus melayani lelaki. Laki-laki digambarkan memiliki kontrol seksual terhadap perempuan ketika ia sudah mengonsumsi stimulan seksual tersebut, dan perempuan hanya bisa pasrah terhadap kontrol tersebut. Perempuan harus memenuhi apa yang menjadi keinginan lelaki, dan perempuan harus melayani keinginan tersebut. Ada juga contoh film yang menjadikan tubuh perempuan sebagai objek dan sarana untuk dieksploitasi. Misalnya, di ranah Hollywood, film yang menunjukkan bahwa perempuan adalah sumber kepuasan bagi laki-laki adalah film Don Jon (2013) yang menceritakan kisah mengenai seorang laki-laki bernama Jon yang adalah pecandu film porno dan pecandu hubungan seks bebas dengan perempuan. Perempuan-perempuan yang ada di dalam film ini ditunjukkan mengenakan pakaian seksi dan dengan sukarela menjadi “teman tidur” bagi Jon. Berulang kali ditunjukkan di dalam film ini adegan Jon sedang melakukan masturbasi saat menonton video porno di internet. Adegan di dalam video porno yang sedang ditonton oleh Jon juga ditunjukkan dan dijelaskan bahwa Jon lebih suka menonton video porno ketika hanya ada tokoh perempuan saja yang memerankan, tanpa ada tokoh laki-laki. Ia merasa sangat terpuaskan dengan menonton video porno dengan pemeran perempuan, sementara ia merasa terganggu jika ada laki-laki yang berperan sebagai pasangan seks si perempuan dalam video tersebut. Di ranah film Indonesia, film-film yang mengobjektifikasi perempuan biasanya adalah film-film setengah horor setengah porno yang mulai dari tahun 2010 sampai saat ini banyak dibuat di Indonesia. Judul-judul yang diberikan oleh para pembuat film biasanya judul yang kontroversial dan vulgar, seperti misalnya Rintihan Kuntilanak Perawan (2010), Hantu Puncak Datang Bulan (2010) Pelukan Janda Hantu Gerondong (2011), Pocong Mandi Goyang Pinggul (2011), dan Pacar Hantu Perawan (2011). Semua sutradara dari kelima film yang disebutkan di atas adalah laki-laki. Dari judul-judul tersebut, dapat dilihat bahwa pemilihan kata-kata yang ada hubungannya dengan perempuan seperti “perawan”, “datang bulan”, “janda”, “goyang pinggul” digunakan oleh para pembuat film dengan maksud dan tujuan tertentu. Bisa jadi maksudnya adalah untuk mendongkrak jumlah penonton dengan cara membuat judul yang dapat membangkitkan rasa penasaran seksual dari orang-orang yang menonton, khususnya laki-laki. Selain peninjauan dari segi judul, peninjauan sebuah film tentu saja lebih krusial jika dilihat dari konten dan pesan moral di dalam alur ceritanya. Namun seringkali, film-film horor bertendensi porno seperti judul-judul film tersebut memiliki alur cerita yang sangat minim dengan pesan moral. Adegan yang seringkali ditunjukkan adalah adegan perempuan yang sedang mandi dengan sudut ambil kamera diletakkan lebih tinggi dari si pemeran perempuan sehingga bagian tubuh seperti payudara dan bagian belakang tubuh terlihat, atau adegan perempuan-perempuan berpakaian seksi atau tidak berpakaian sama sekali sedang melakukan suatu kegiatan. Sisi porno film seolah menjadi inti cerita, sedangkan horornya sendiri terkesan hanya menjadi bumbu cerita. Adegan-adegan yang seringkali memperlihatkan tubuh perempuan sebagai objek menunjukkan bahwa perempuan diposisikan sebagai pemuas keingintahuan dan nafsu penonton akan seksualitas. Eksploitasi tubuh perempuan tidak hanya digunakan dalam iklan dan film saja, namun juga game online yang ada di internet. Sebuah game bernama Undress a Girl dalam situs www.flash-game.net adalah permainan dimana si pemain bisa melucuti pakaian perempuan ketika ia berhasil menangkap dua puluh bir yang jatuh dengan cara mengklik mouse pada bir-bir tersebut. Game lain yang bernama World Racing 2 juga menunjukkan animasi visual seorang perempuan yang berdiri di depan sebuah mobil dengan pose yang vulgar dengan pakaian yang minim pula sedang memegang bendera yang dipakai dalam permainan balap tersebut. Banyaknya penggambaran perempuan di media massa sedikit banyak memengaruhi apa yang dipikirkan oleh masyarakat terhadap perempuan. Meskipun penentuan identitas secara arbitrer tersebut belum tentu benar dan tidak bisa digeneralisasi, media tidak dapat dipungkiri menjadi sumber kultivasi besar dalam pembentukan persepsi masyarakat mengenai identitas perempuan. Selain itu, dalam penggambaran mengenai perempuan oleh media dapat dilihat adanya dominasi dari laki-laki kepada perempuan, dengan cara menjadikan perempuan sebagai objek kepuasan seksual laki-laki. Laki-laki digambarkan memiliki kekuasaan terhadap perempuan dalam apa yang dipaparkan oleh media. Penggambaran mengenai identitas dan degree of power yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan dapat memengaruhi realitas kehidupan sosial dan hubungan antara laki-laki dan perempuan di dunia nyata. Perempuan dalam Media, Filsafat Identitas dan Filsafat Kekuasaan Kesadaran kognitif seseorang mengenai identitasnya dapat memengaruhi perilakunya dalam kehidupan sosial. Jika laki-laki dan perempuan sama-sama memahami identitasnya berdasarkan apa yang selama ini tersedia dalam media, maka perilaku laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial juga akan menjadi seperti apa yang digambarkan secara implisit oleh media, yakni laki-laki sebagai pemegang kekuasaan terhadap perempuan dan perempuan sebagai pihak yang didominasi oleh laki-laki. Akhirnya timbul hierarki identitas antara laki-laki dan perempuan, dipisahkan oleh perbedaan degree of power (derajat kekuasaan) yang mereka miliki. Karena itulah, fenomena penggambaran perempuan oleh media dalam artikel ini akan ditinjau dari segi filsafat identitas dan filsafat kekuasaan. Filsafat Mengkaji Identitas: Beyond Media’s Content Manusia, sebagai seorang individu yang juga adalah bagian dari masyarakat, memiliki identitasnya sendiri. Identitas yang dimiliki oleh manusia tidak hanya sekadar meliputi status dan perannya dalam menjalani kehidupan sebagai makhluk sosial, namun sesuatu yang lebih dalam daripada hanya sekadar apa yang tampak secara jelas dan apa yang dapat dilihat oleh lingkungan sekitar dan masyarakat. Hal inilah yang salah satunya dibahas dalam filsafat. Filsafat adalah ilmu yang mengajarkan kepada manusia agar tidak berhenti bertanya, agar selalu mempertanyakan segala sesuatu sampai kepada penemuan-penemuan baru yang semakin mendekati realitas. Dalam hubungannya dengan identitas manusia, manusia berfilsafat atau mempertanyakan secara lebih esensial dan lebih mendalam mengenai identitasnya. Identitas yang selama ini ia “kira” ia miliki, dipertanyakan ulang, apakah benar demikian keadaannya. Identitas yang dimiliki manusia tentunya berbeda-beda satu dengan yang lain. Ada beberapa hal dalam diri manusia yang dapat memengaruhi identitas manusia. Grayson (2012) menyebutkan bahwa, “One intrinsically ‘owns’ a few things about oneself, such as physical characteristics, and possesses a few, such as knowledge or skills. None of these by themselves, however, constitute an identity. They are characteristics: often unique and always inherent in the person. So, although they may be unique themselves, it is wrong to suggest that DNA or fingerprints or speech patterns are an identity. The DNA profile is an identifying characteristic; similarly, fingerprints and specific professional accreditations are not identities, but identifiers.” Grayson menjelaskan bahwa manusia memiliki banyak karakteristik dalam dirinya yang menjadi ciri khas sebagai ke-aku-annya, namun karakteristik manusia berbeda dengan identitas, meskipun karakteristik tersebut digunakan sebagai sesuatu yang dapat mengacu kepada identitas seseorang. Grayson selanjutnya menyatakan, “Identifying characteristics are given power as contributory parts of an identity only after they are recognized by others. Thus identity, for our purpose, does not inhere within us; it is a social construct and granted by others.” Manusia memang memiliki “identifying characters” atau karakter yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dirinya, namun karakter tersebut hanyalah sebagian dari identitasnya yang sebenarnya. Identitas yang dimiliki oleh seseorang dibuat menjadi identitasnya ketika orang lain mengakui bahwa ia memang memiliki identitas tersebut. Manusia tidak menentukan identitasnya sendiri, karena lingkungan tempat dimana ia menunjukkan perilaku sosialnya yang akan menentukan identitasnya. Namun, bukan berarti manusia tidak bisa memandang ke dalam dirinya sendiri untuk mengetahui identitasnya yang sesungguhnya. Hanya saja, manusia memandang dirinya dari gambaran atau asumsinya mengenai gambaran orang lain terhadap dirinya. Jadi, manusia dapat memandang dan menentukan identitasnya sendiri, namun identitas tersebut tetap saja kembali lagi pada apa yang dipikirkan orang lain mengenai dirinya. Manusia tidak menentukan identitasnya sendiri, karena ia tidak memiliki kapabilitas dan ruang untuk hal tersebut. Situasi unik inilah yang dijabarkan oleh Cooley dengan teorinya, yakni teori Looking-glass Self. Prinsip dasar dari teori ini adalah: 1) The imagination of our appearance to the other person 2) The imagination of the other person’s judgments on that appearance 3) Some sort of self-feeling, such as pride or mortification. Dari teori ini dapat dilihat dengan lebih jelas bahwa identitas manusia dipengaruhi oleh apa yang ia pikir merupakan pandangan orang lain terhadap dirinya. Pada akhirnya, ia akan menghadapi perasaan tertentu dari apa yang ia kira orang lain pikirkan tentangnya, baik itu kepuasan maupun ketidaknyamanan. Kesadaran kognitif manusia mengenai apa yang dipandang orang lain terhadapnya kemudian menjadi refleksi dari identitasnya sebagai seorang manusia, sebagai seorang being, sebagai seorang person, sebagaimana yang dijelaskan oleh John Locke bahwa person adalah “a thinking intelligent being, that has reason and reflection, and can consider itself as itself, the same thinking thing, the different times and places”. Manusia dikatakan sebagai manusia yang memiliki identitas ketika ia mampu memandang dirinya sebagai dirinya, dengan alasan tertentu dan dengan kemampuan merefleksikan dirinya di lingkungan sekitarnya. Hubungan timbal balik antara manusia dan masyarakat di sekitarnya dapat membantu manusia menangkap refleksi tentang dirinya, yakni berdasarkan apa yang diberikan masyarakat kepadanya sebagai feedback atas tingkah lakunya. Cara masyarakat memperlakukan seorang individu, cara masyarakat berinteraksi dengan individu, dan cara masyarakat berkomunikasi dengan individu berbeda-beda, dan perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor identitas individu tersebut di masyarakat. Individu akan menangkap cara perilaku masyarakat terhadapnya dan dari hal inilah dia kemudian akan mengetahui dan menyadari identitasnya di mata masyarakat. Dalam hubungannya dengan media dan penggambaran perempuan di dalam media, filsafat identitas berusaha mendalami mengenai apa yang terjadi di balik penggambaran dan pemberian identitas perempuan oleh media. Filsafat identitas mempertanyakan perbedaan identitas perempuan dan laki-laki seperti apa yang coba ditanamkan oleh media kepada masyarakat. Filsafat identitas berusaha menggali lebih dalam mengapa media secara sewenang-wenang mempresentasikan identitas perempuan sebagai objek dan mengapa perempuan diberi identitas sebagai pihak yang diseksualisasikan dalam media. Filsafat Mengkaji Kekuasaan: Degree of Power Between Men and Women Kekuasaan dalam filsafat seringkali dikaji melalui lensa politik. Kekuasaan diasosiasikan dengan politik, karena dalam politik, kekuasaan diperebutkan dan diperjuangkan. Namun, konsep dasar dari kekuasaan yang ditinjau dari segi filsafat tetap memiliki substansi yang sama dengan kekuasaan yang dibahas di ranah lain selain ranah politik. Dalam hal ini, kekuasaan yang dibahas adalah kekuasaan dalam ranah sosial, yaitu perbedaan derajat kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Max Weber (1983) mendefinisikan kekuasaan sebagai “the probability the actor within a social relationship will be in position to carry out his own will despite resistance, regardless of the basis on which this probability rests”. Weber menyatakan bahwa seorang pelaku dalam kehidupan sosial akan selalu berada dalam posisi siap untuk memberlakukan kehendaknya sendiri, meskipun ada perlawanan dari pihak lain. Manusia berusaha memberlakukan kehendaknya, termasuk terhadap orang-orang lain di sekitarnya, karena manusia adalah makhluk yang pada dasarnya tidak akan pernah puas. Jika ia tidak mendapatkan kekuasaan, ia akan berusaha mencari kekuasaan. Jika ia sudah mendapatkan sedikit kekuasaan, maka ia akan berusaha memperbesar derajat kekuasaannya tersebut. Kekuasaan dalam kehidupan manusia, baik disadari maupun tidak disadari, ternyata salah satu hal yang paling diminati dan dipikirkan oleh banyak orang. Goldman (1992) menyatakan bahwa “Power has, of course, been much-desired object throughout human history and thought.” Selanjutnya, Goldman menyatakan bahwa “Life is grounded on a will to power, on “a will to overcome, a will to throw down, a will to become master, a thirst for enemies and resistances and triumphs.” Hidup manusia dikuasai oleh keinginan untuk berkuasa. Manusia memiliki kemauan untuk menguasai, untuk menjadi penguasa, untuk menang dan untuk membuat takluk orang lain. Kekuasaan menjadi hal yang penting dalam kehidupan manusia, karena dengan kekuasaan, manusia mampu memaksakan keinginan dan kehendaknya terhadap orang lain. Manusia mampu membuat orang lain melakukan apa yang ia inginkan, entah orang tersebut sebenarnya ingin melakukannya atau tidak. Nietzche mengatakan, “the fundamental instinct of life ... aims at the expansion of power.” dan “Above all something living wants to discharge its strength—life itself is a will to power.” Pernyataan Nietzche yang lebih ekstrim tersebut menyatakan bahwa kekuasaan tidak hanya sekadar penting dalam kehidupan manusia, namun kehidupan sendiri adalah keinginan untuk menguasai. Bahkan ekspansi kekuasaan dianggap sebagai suatu insting fundamental milik manusia. Kekuasaan memampukan manusia mengatur dunianya, tidak hanya dirinya sendiri namun juga lingkungan sekitarnya. Kekuasaan mampu mengubah apa yang dianggap oleh seseorang sebagai hal yang tidak stabil dan mengganggu dalam sistem kehidupannya menjadi sesuatu yang stabil. Dalam hubungannya dengan media, filsafat membantu menjelaskan lebih dalam mengenai kekuasaan yang dipatenkan dalam media, yakni kekuasaan laki-laki. Kekuasaan laki-laki terhadap perempuan dibuat seolah-olah benar, bisa diterima secara wajar dan memang seharusnya demikian adanya. Filsafat kekuasaan menjelaskan akibat adanya degree of power atau perbedaan derajat kekuasaan yang membuat perempuan diperlakukan sebagai pihak subordinat dalam media. Kekuasaan yang disadari melalui pemahaman mengenai identitas laki-laki yang dipaparkan dalam media mampu membuat laki-laki memegang kendali atas perempuan, mampu menjadikan perempuan menjadi objek demi pemenuhan hasrat laki-laki, dan mampu melebarkan kesenjangan antara identitas laki-laki dan perempuan. Filsafat kekuasaan juga memandang usaha sebagian gender laki-laki untuk berkuasa terhadap sebagian gender perempuan dan mendominasi gender perempuan, serta mengapa hal tersebut bisa terjadi. Identitas, Kekuasaan dan Visualisasinya dalam Komunikasi Melalui Media Media secara masif dan arbitrer menampilkan citra mengenai perempuan kepada khayalak ramai. Jangkauan media yang luas memampukan media menyebarkan citra yang sama mengenai perempuan ke banyak tempat dan pada akhirnya menyebabkan kesamaan pandangan dan konsensus masyarakat mengenai identitas perempuan. Identitas perempuan dan laki-laki dalam konten yang disajikan media digambarkan sangat berbeda. Laki-laki digambarkan sebagai pemegang kendali atas perempuan, sebagai penentu tingkah laku perempuan, sebagai pribadi yang agresif dan dominan, sedangkan perempuan digambarkan sebagai pribadi yang berada di bawah kendali, submissive, mudah didominasi, dan objek pelampiasan hasrat lelaki. American Psychological Association (APA) pada tahun 2007 merilis sebuah laporan berjudul APA Task Force on the Sexualization of Girls yang berisi pemaparan mengenai fenomena seksualisasi terhadap perempuan yang terjadi di Amerika. Laporan ini menjelaskan bagaimana seksualisasi terhadap perempuan terjadi, apa saja yang menjadi faktor terjadinya seksualisasi dan siapa saja yang ikut berperan dalam melakukan seksualisasi terhadap perempuan. Dalam laporan tersebut, APA menjelaskan kontribusi terhadap seksualisasi perempuan diberikan secara kultural, yakni melalui media. Media seperti televisi, video musik, lirik lagu, film, kartun dan animasi, majalah, media olahraga, game komputer, internet, dan iklan komersial memberikan andil besar dalam seksualisasi. Mengenai televisi, misalnya, APA menyebutkan bahwa: • “....young viewers encounter a world that is disproportionately male, especially in youth-oriented programs, and one in which female characters are significantly more likely than male characters to be attractive and provocatively dressed (Eaton, 1997). Sexual comments and remarks are pervasive on television (L.M. Ward, 2003), and research has shown that they disproportionately sexually objectify women.” Penggambaran mengenai perempuan yang sering terjadi di televisi dan film adalah: • “...11.5% of the verbal sexual messages coded involved sexually objectifying comments, nearly all of which were about women.” • “23% of the sexual behaviors coded were leering, ogling, staring, and catcalling at female characters. Additionally, 16.5% of the sexual remarks detected were about body parts or nudity. A majority of these comments (85%) came from men.” • “In R-rated movies of the 1980s, instances of female nudity were reported to exceed those of male nudity in a 4 to 1 (4:1) ratio (B.S Greenberg et al., 1993).” Kemudian, APA juga menggambarkan pencitraan tentang perempuan yang diekspos dalam majalah-majalah: “...presenting oneself as sexually desirable and thereby gaining the attention of men is that presenting oneself as sexually desirable and thereby gaining the attention of men is and should be the focal goal for women. Girls and young women are repeatedly encouraged to look and dress in specific ways to look sexy for men, a phenomenon labeled “costuming for seduction” (M. Duffy & Gotcher, 1996), and to use certain products in order to be more attractive and desired by males.” “...the content of these magazines encouraged young women to think of themselves as sexual objects whose lives were not complete unless sexually connected with a man.” Dari deskripsi mengenai penggambaran perempuan dalam media yang diamati oleh APA, dapat dilihat bahwa perempuan “diberikan” sebuah konsep yang seolah-olah hanya dapat mereka terima dan tidak dapat mereka tolak mengenai identitas perempuan. Dalam visualisasi mengenai perempuan yang selama ini ada di media, media seolah menjadi sarana “pemutlakan” identitas perempuan sebagai alat pemuas bagi laki-laki. Perempuan digambarkan berpakaian atraktif dan provokatif dalam media, sehingga laki-laki “berhak” memberikan komentar-komentar yang negatif dan melecehkan, biasanya terhadap tubuh perempuan. Majalah-majalah yang pasar pembacanya adalah perempuan dan remaja perempuan seperti Teen, Seventeen, Glamour dan sebagainya justru sering mengekspos konten-konten yang isinya mendukung perempuan sebagai objek sesual lelaki dan mendorong perempuan untuk berani berpakaian lebih atraktif sehingga mampu menarik perhatian lelaki dan “diinginkan” oleh lelaki. Hidup perempuan dibuat seolah-olah belum sempurna jika ia tidak diinginkan secara seksual oleh laki-laki. Aspek-aspek lain dalam diri perempuan, dari segi intelektualitas, pekerjaan, hobi dan kekuatan atau kelebihan lain sangat jarang ditonjolkan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa manusia mengetahui identitasnya berdasarkan apa yang diberikan oleh orang lain sebagai “label identitas” kepadanya. Media memberikan label identitas kepada perempuan secara sewenang-wenang. Media memberitahukan dengan frekuensi tinggi secara implisit bahwa identitas perempuan adalah sebagai makhluk yang dapat menjadi sarana kepuasan bagi lelaki, yang tugasnya adalah menjadi objek bagi lelaki dan menjadi pribadi yang diinginkan secara seksual oleh laki-laki. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa identitas seseorang diketahui dari apa yang orang lain pandang tentang dirinya, begitu pula yang terjadi pada identitas perempuan yang berada di dalam media. Ketika perempuan berfilsafat akan identitasnya sebagai seorang manusia yang eksis, ia mempertanyakan siapa “aku” yang sebenarnya. “Aku” yang dimaksud adalah ke-aku-an bagi diri sendiri, bagi keluarga dan teman-teman, juga lebih luas lagi bagi masyarakat. Perempuan akan terus berusaha mencari tahu identitasnya yang mana yang paling mendekati relitas. Jika ia menganggap identitas yang tepat dan “ideal” untuknya adalah dari apa yang dipresentasikan oleh media, kemudian bisa saja hal tersebut memengaruhi kesadaran identitas perempuan akan dirinya sendiri. Karena yang ia lihat di media adalah demikian, ia menganggap bahwa situasi tersebut adalah refleksi yang sebenarnya dari nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, lalu ia jadi menganggap bahwa dirinya memang diperuntukkan bagi kepuasan laki-laki seperti apa yang ditanamkan oleh media kepada masyarakat. Pembentukan identitas perempuan secara sewenang-wenang ini besar pengaruhnya di kehidupan perempuan sehari-hari, baik dari segi kehidupan perempuan sebagai ibu rumah tangga, sebagai pekerja, sebagai seorang intelektual dan segala profesi sosialnya yang lain. Perilaku yang ia terima dari masyarakat di sekitarnya terbentuk dari apa yang dikonstruksikan mengenai identitas perempuan dalam media. Termasuk dalam bidang-bidang pekerjaan dimana nantinya perempuan akan ikut berkontribusi. Di dalam media digambarkan bahwa dalam lingkungan pekerjaan dimana juga terdapat laki-laki di sana, biasanya laki-laki digambarkan memiliki kekuasaan secara seksual terhadap perempuan yang jabatannya lebih rendah. Misalnya saja, banyak kisah di sinetron dan telenovela mengenai seorang bos yang menjalin affair dengan sekretaris perempuannya. Karena banyaknya gambaran seperti ini, maka kejadian-kejadian seperti ini juga dianggap wajar saja oleh masyarakat, karena sudah sering terjadi dalam media dan dianggap merefleksikan kehidupan nyata. Padahal sesungguhnya, banyak fenomena sosial yang sangat kontekstual dan tidak bisa digeneralisasikan, meskipun banyak dipaparkan dalam media massa. Identitas perempuan yang seolah-olah diperuntukkan bagi kepentingan, kesenangan dan keuntungan lelaki dapat dilihat juga pada sebuah perkataan yang “ditujukan” untuk lelaki, yakni “Harta, Tahta, Wanita”. Dari perkataan ini, perempuan disejajarkan dengan harta dan tahta, dijadikan sebuah “kebanggaan” bagi lelaki. Lelaki akan lebih menjadi lelaki yang sejati ketika ia memiliki ketiga hal tersebut, lelaki sudah biasa memperebutkan dan bertengkar karena ketiga hal tersebut. Perkataan ini tersebar dalam media dan ketika masyarakat mendengarnya, perkataan ini seolah-olah wajar saja karena memang sudah seringkali terdengar dan perkataan ini tidak dianggap salah atau mengandung sesuatu yang aneh. Media massa mampu memengaruhi opini publik, serta mampu membuat konsensus di mata masyarakat mengenai suatu hal tertentu. Jika media terus-menerus membombardir masyarakat dengan pencitraan antara perempuan dan laki-laki yang jauh berbeda dan tidak seimbang, maka perlahan di masyarakat akan terbentuk konsensus mengenai hal tersebut. Kesamaan pandangan di mata masyarakat mengenai hak laki-laki untuk menjadikan perempuan sebagai objek seksual bisa menjadi seolah-olah benar karena dibenarkan oleh media. Filsafat identitas, sebagaimana pula yang telah dijelaskan sebelumnya, berusaha mengetahui identitas macam apa yang ingin ditampilkan oleh media kepada masyarakat mengenai laki-laki dan perempuan, serta apa yang menjadi penyebabnya. Salah satu penyebab dari mengapa media secara sewenang-wenang memberi identitas kepada kedua jenis kelamin yang berbeda dan lebih bertendensi merugikan perempuan adalah karena faktanya, sebagian besar yang bekerja dan memiliki kendali atas media adalah laki-laki. Berikut adalah beberapa fakta mengenai persentase lelaki dan perempuan di dalam media: • By a nearly 3 to 1 margin, male front-page bylines at top newspapers outnumbered female bylines in coverage of the 2012 presidential election. Men were also far more likely to be quoted than women in newspapers, television and public radio. • On Sunday TV talk shows, women comprised only 14 percent of those interviewed and 29 percent of roundtable guests. • Talk radio and sports talk radio hosts are overwhelmingly male. • Newer, online-only news sites have fallen into the same rut as legacy media. Male bylines outnumbered female bylines at four of six sites reviewed. • The percentage of women who are television news directors edged up, reaching 30 percent for the first time. Overall employment of women in TV news remains flat. • Women comprised just 9 percent of the directors of the top 250 domestic grossing films of 2013. • Forty-seven percent of gamers are women, but 88 percent of video games developers are male. • Women accounted for 10 percent of the entire workforce of film writers. • Women made up 6 percent of all directors on 2013’s top 250 films. • Since 2012, the number of female executive producers fell 2 percent, standing at 15 percent in 2013 when 60 percent of the 250 films had no women among their executive producers. • 17 percent of 2013’s editors were women. • 3 percent of the films’ cinematographers were women in 2013. • Women were most likely to work on dramas, comedies and documentaries but least likely to work on animated, science-fiction and horror movies. Perempuan memang mengonsumsi media, namun yang berperan dalam produksi konten dalam media kebanyakan adalah laki-laki. Penjelasan mengenai hal ini terdapat dalam pembahasan mengenai hubungan antara kekuasaan dan komunikasi adalah bahwa “Penggunaan kekuasaan dalam komunikasi tergantung pada penerapan fasilitas, baik ekonomi, budaya, politik, atau teknologi (bdk. A. Giddens, 1993: 219). Semakin banyak fasilitas yang dimiliki semakin besar akses informasi, semakin mampu memengaruhi dan mendominasi pihak lain atau publik.” Kekuasaan yang dimaksud adalah dalam menguasai fasilitas dan akses informasi. Semakin banyak fasilitas yang dapat diakses dan semakin bebas ruang terhadap akses informasi, maka seseorang akan semakin memiliki kekuasaan. Dalam hal ini, laki-laki memiliki akses terhadap informasi di media yang lebih terbuka daripada perempuan, karenanya, yang berperan banyak dalam pengaturan isi konten dan pembentukan opini publik adalah lelaki. Hal ini dapat menjadi sebab mengapa laki-laki, baik secara sadar maupun tidak sadar, meletakkan gambaran mengenai perempuan secara hierarkis berada di bawah gambaran mengenai laki-laki. Karena gambaran ini lebih menguntungkan lelaki, maka tidak banyak lelaki yang bekerja pada bidang pengaturan konten dalam media yang memunculkan protes terhadap situasi tersebut. Karena perempuan yang bekerja dalam pengaturan konten di media jauh lebih sedikit dari laki-laki, suara dari perempuan—yang secara jumlah di industri media merupakan minoritas—menjadi tidak terdengar. Dari fenomena ini, dapat dilihat bahwa identitas dan kekuasaan saling berhubungan dan memengaruhi dalam penggambaran perempuan dalam media. Identitas perempuan yang terkesan berada di bawah laki-laki, terkesan sebagai objek kepuasan laki-laki, dan direlasikan dengan seksualitas bisa sampai terbentuk karena ada peran besar laki-laki di dalamnya. Identitas laki-laki sebagai sosok yang berada di atas perempuan, bisa secara mudah menjadikan perempuan sebagai objek dan mampu membuat perempuan memenuhi keinginan tersebut terbentuk karena laki-laki mendominasi perempuan di dalam media. Dominasi kekuasaan laki-laki tidak hanya terlihat di dalam konten yang ditampilkan lewat media, namun juga di belakang layar, yakni dalam pengaturan konten media itu sendiri. Seperti dalam pembahasan mengenai filsafat kekuasaan bahwa pada hakikatnya manusia dalam hidupnya akan selalu berusaha agar mampu mendapatkan kekuasaan, mampu menguasai orang lain dan mampu melakukan ekspansi terhadap kekuasaannya. Di dalam media, laki-laki dalam konteks sebagai tipe jenis kelamin atau gender—yang segala yang berhubungan dengannya sudah terpengaruh oleh konstruksi dari masyarakat—melakukan ekspansi kekuasaan dengan cara menguasai tipe jenis kelamin yang lain, yakni perempuan. Hal ini dirasa perlu dilakukan, jika ditinjau dari segi kekuasaan secara filosofis, untuk mematenkan dominasi kekuasaan laki-laki, untuk memastikan bahwa laki-laki sebagai gender yang unggul mampu menguasai gender yang lain (perempuan), sebagai sebuah reassurance bahwa gender laki-laki memang memiliki power untuk membuat gender perempuan tunduk kepadanya. Kekuasaan ini ditunjukkan dengan cara memberikan gambaran mengenai perempuan di dalam media yang mudah mematuhi atau memenuhi keinginan laki-laki, biasanya secara seksual. Dominasi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan sangat kental di dalam media. Misalnya, perempuan diasosiasikan dengan barang-barang yang penting oleh laki-laki atau diinginkan oleh laki-laki, misalnya mobil mewah. Perempuan dianggap sejajar dan tidak lebih dari barang yang setiap laki-laki wajib miliki sebagai simbol maskulinitas dan harga diri. Kekuasaan tersebut semakin mengalami ekspansi tiap harinya, karena kekuasaan laki-laki terhadap perempuan yang dilanggengkan oleh media telah menyebar luas dan diterima sebagai suatu pemahaman di masyarakat dan dianggap merupakan hal yang benar dan sudah sepantasnya. Kekuasaan yang timpang antara gender perempuan dan laki-laki dalam media menyebabkan munculnya kesenjangan identitas antara laki-laki dan perempuan. Padahal pada hakikatnya, setiap manusia terlahir sejajar dan sama, tidak ada jenjang hierarkis pada esensi awal manusia. Yang berbeda adalah kemampuan adaptasi tiap manusia setelah ia lahir dan berbagai hal yang dibangun oleh adanya sistem sosial, misalnya status sosial, ekonomi, politik dan seterusnya. Identitas yang dibangun oleh lingkungan sosial sepanjang perjalanan hidup inilah yang kemudian menjadi identitas yang dianggap benar dan digunakan dalam mengidentifikasi tiap individu. Dari yang tadinya tidak berjenjang, lambat laun identitas manusia masuk ke dalam kategori-kategori yang ordinal, yang memiliki jenjang. Adanya jenjang dapat dimungkinkan ketika ada kelas yang lebih tinggi dari kelas lain, baik anggota kelas tersebut yang merasa kelasnya memang lebih tinggi dan mengupayakan agar terjadi demikian, atau ketika orang lain menempatkan kelas tersebut sebagai kelas yang lebih tinggi. Identitas gender perempuan dan laki-laki, yang seharusnya sama rata, sekarang menjadi berbeda dengan adanya jenjang. Laki-laki seolah-olah menjadi nomor urut satu dalam media dan perempuan menjadi kelas dua. Karena merupakan gender yang lebih tinggi secara hierarkis, maka laki-laki mempunyai kekuasaan lebih daripada perempuan. Adanya kekuasaan lebih dari laki-laki menyebabkan ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dan perempuan dianggap berhak lebih sedikit mempunyai kekuatan dan kekuasaan. Maka dari itu, gender laki-laki mendominasi gender perempuan dan gender perempuan berada dalam bayang-bayang gender laki-laki, terutama secara seksual. Penutup Sejauh ini, ternyata media mampu menjadi jurang yang memisahkan antara identitas manusia yang terlahir sama, yakni perempuan dan laki-laki. Jika berbicara mengenai media, tentunya yang dimaksud adalah media sebagai sarana, dengan pelaku-pelaku industri media di belakangnya. Media membantu memisahkan identitas laki-laki dan perempuan, bukan hanya ke dalam kategori tertentu namun ke dalam jenjang hierarkis, atas dan bawah. Media tidak hanya memunculkan adanya stigma mengenai ketidakseimbangan gender di dalam masyarakat, namun juga membantu melanggengkan hal tersebut. Bahkan media mampu menciptakan kesamaan pandangan di masyarakat luas mengenai identitas perempuan yang berada di bawah lelaki. Media juga digunakan sebagai sarana pelanggengan kekuasaan lelaki oleh oknum-oknum dibalik industri media, yang kebanyakan adalah lelaki. Karena perempuan tidak banyak berkecimpung dalam dunia industri media, maka suara perempuan yang memprotes penggambaran identitas mereka di media tidak terdengar. Hal ini semakin mematenkan dominasi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan dalam industri media, baik dalam hal regulasi konten maupun visualisasi konten ke masyarakat. Adanya identitas dan kekuasaan yang berbeda dan timpang antara laki-laki dan perempuan mampu melahirkan konsensus di mata masyarakat dan konsensus tersebut menjadi seolah-olah benar karena dibenarkan oleh media. Kemampuan media yang sedemikian besar haruslah dipahami dengan baik dan digunakan dengan hati-hati. Salah satu kunci memperbaiki keadaan yang ada sekarang, dimana perempuan dijadikan objek secara seksual dan dianggap dapat memenuhi kebutuhan industri dengan pembentukan identitas sedemikian rupa dalam hal “keperempuanan” adalah dengan pembagian kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang bekerja dalam industri media. Jika perempuan lebih banyak bekerja dalam media, maka dominasi kekuasaan laki-laki bisa mulai digeser dan diganti dengan keseimbangan dan kesejajaran. Suara perempuan di media pun bisa lebih terdengar, karena tidak menjadi minoritas secara jumlah. Perempuan perlu memahami identitasnya yang sesungguhnya, yang ia anggap benar dan baik untuk dirinya meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa identitasnya berjalan beriringan dengan pendapat masyarakat tentang identitasnya. Walaupun begitu, ia tetap harus dapat membedakan mana identitas dirinya yang sebenarnya dan mana yang sudah dikonstruksikan dan dimodifikasi oleh media. Media massa memang merupakan sumber kultivasi yang besar terhadap ide-ide tertentu, namun apa yang diperlihatkan media kepada masyarakat yang mengonsumsi belum tentu valid dan tidak bisa digeneralisasi atau diimplementasikan secara sembarangan. Disinilah filsafat menemukan celah dan membantu mengkaji ulang fenomena ini, yakni dengan mempertanyakan kembali identitas perempuan sebagai objek kepuasan laki-laki, apakah memang benar demikian keadaannya atau ada oknum-oknum tertentu yang ingin melanggengkan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan sehingga mengkonstruksi identitas perempuan secara merugikan terhadap perempuan. Filsafat mencari tahu apakah perempuan memang dilahirkan memiliki derajat kekuasan yang lebih rendah daripada laki-laki, atau ketimpangan kekuasaan ini bisa terjadi karena adanya usaha ekspansi kekuasaan dari pihak lain, dalam hal ini laki-laki. Filsafat, yang dalam konteks kajian media menggunakan filsafat komunikasi, mengkaji dibalik situasi pencitraan dan visualisasi perempuan dan laki-laki di dalam media. Filsafat komunikasi mencari kebenaran fungsi media, memandang media tidak hanya sebagai media dalam hubungannya dengan informasi dan rekreasi saja, melainkan mencari tahu apa yang berada di balik usaha pencitraan atau imaging mengenai sesuatu—dalam hal ini mengenai perempuan—dalam media. Filsafat komunikasi berusaha membahas mengenai fenomena identitas dan kekuasaan dalam media dengan sudut pandang kritis, karena melihat adanya ketidakseimbangan yang ditonjolkan oleh media. Filsafat komunikasi tidak hanya menerima adanya ketimpangan dalam media, namun berusaha menjelaskan mengapa hal tersebut bisa sampai terjadi. Filsafat tidak hanya melihat pada faktor individu, namun juga kelompok, masyarakat, organisasi dan sistem yang ada. Pada akhirnya, filsafat, berjalan beriringan dengan ilmu komunikasi, selalu berusaha membantu memahami lebih dalam hubungan rumit antara manusia dan salah satu faktor pembentuk kehidupan manusia yang paling berpengaruh, yakni media. Daftar Pustaka Buku Goldman, Harvey. Politic, Death, and the Devil: Self and Power in Max Weber and Thomas Mann. California: University of California Press, 1992. Haryatmoko. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Jackson, Ronald L., II, ed. Encyclopedia of Identity. London: SAGE Publications Ltd, 2010. John Perry, ed. Personal Identity. California: University of California Press, 2008 Kronman, Anthony T. Max Weber: Jurists: Profiles in Legal Theory. California: Stanford University Press, 1983. McQuail, Denis, ed. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London: SAGE Publications Ltd, 2004. Jurnal Aubrey, J.S. “Effects of Sexually Objectifying Media on Self-Objectification and Body Surveillance in Undergraduates: Results of a 2-Year Panel Study”. Journal of Communicaton 56 (2006): 368-369. Grayson, Timothy R. D. “Philosophy of Identity”. Identity Planet 1:1(2012): 2. Sharma, Arpita. “Portrayal of Women in Mass Media”. Media Watch 4:1(2012): 2. Laporan Lembaga American Psychological Association. Report of the APA Task Force on the Sexualization of Girls. By Zurbriggen, et al. Mar 2007. 7 June 2014 . Women’s Media Center. The Status of Women in U.S. Media 2014. By Women’s Media Center. February 2014. 8 June 2014 .   Laporan Wartawan Tribun Jabar, Ferri Amiril Mukminin TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Ketua Komisi Penyiaran Informasi Daerah (KPID) Jawa Barat, Profesor Dokter Atie Rachmiatie MSi, mengatakan, fenomena wanita dan informasi pada berita kriminal, wanita cenderung diberitakan sebagai korban penganiayaan atau perkosaan. Secara tersurat dan tersirat wanita sebagai sosok yang lemah dan selalu bergantung kepada pria. "Jika pada kasus pembunuhan, wanita dianggap sebagai pembunuh berdarah dingin, secara implisit mengacu pada nilai-nilai sosial wanita lembut, penyabar, baik. Terkadang menjadi ganda pembunuh dan orang yang sadis," katanya dalam acara pelatihan peliputan berita berperspektif perempuan di P2TP2A, Jalan Riau NO 2, Rabu (13/4/2011). Ia mengatakan wanita juga sering digunakan sebagai objek seks yang bisa diperjualbelikan dan sebagai daya jual media dengan daya tarik seksualnya. Sedangkan kemampuan, kecerdasan, bakat, kepeduliannya terhadap isu-isu politik, ekonomi, sosial diabaikan. "Sosok wanita nyaris lenyap dalam informasi politik dan kehidupan publik," katanya. (*)   Peranan Pers dan Peranan Wanita dalam Pergerakan Nasional 11:21 PM Suci Nancy No comments 1. Peranan Pers dalam pergerakan Nasional a. Pers milik Pergerakan Nasional Pada masa pergerakan nasional banyak organisasi pergerakan menerbitkan media cetak (majalah, surat kabar) yang digunakan sebagai alat perjuangan untuk menyebarkan cita-cita kemerdekaan. Media pers tersebut antara lain: 1. Majalah Indonesia Merdeka Majalah Indonesia Merdeka semula bernama Hindia Putra, diterbitkan oleh Indische Vereniging. Perubahan nama terjadi pada tahun 1924. Majalah ini banyak berperan dalam menyebarkan cita-cita meraih kemerdekaan dan mempertebal semangat kebangsaan. 2. Surat Kabar Utusan Hindia Utusan Hindia merupakan media persnya SI. Berdiri 26 Januari 1913 di Surabaya. Surat kabar ini artikelnya banyak mengupas dunia pergerakan politik ekonomi dan pemburuhan. 3. Surat Kabar De Express De Express terbit pertama tanggal 1 maret 1912, oleh Indische Partij. Artikelnya banyak mengupas tentang masa depan Hindia Belanda. 4. Surat Kabar Darmo Kondo Surat kabar ini diterbitkan oleh Budi Utomo. Medkia pers pada masa perjuangan dimaksudkan sebagai media komunikasi antara pergerakan dengan masyarakat luas. b. Perkembangan Pers Nasional Tumbuhnya Pers Nasional ditandai dengan terbitnya Surat Kabar Medan Priyayi pada tahun 1910. Pendirinya Tirtodiharyo, menggunakan bahasa Melayu, sebagai gelanggang untuk memperjuangkan hak-hak rakyat biasa. Oleh pemerintah RI beliau diangkat sebagai Bapak Pers Nasional. Menyusul kemudian terbitnya Cahaya Timur dan Kebangun di Jakarta, Suara Umum di Surabaya, Pewarta Deli di Medan, Utusan Melayu di Medan, Perjuangan di Palembang, Matahari di Surakarta. Tokoh-tokoh pers (wartawan) terkenal pada masa pergerakan nasional antar lain: Ki Hajar Dewantoro, Dr. Sam Ratulangi, Mr. Sumarang, Dr. Danudirjo Setia Budi. H. Agus Salim, Ir. Soekarno, Moh. Hatta dan sebagainya. 2. Peranan Wanita dalam Pergerakan Nasional Pada masa pergerakan nasional para wanita Indonesia pun tidak tinggal diam. Mereka berusaha memperjuangkan derajat dan emansipasi wanita. Tokoh yang dianggap sebagai perintis gerakan wanita pada masa itu ialah R.A Kartini dan Dewi Sartika. Gerakan wanita yang muncul pada masa pergerakan nasional antara lain: a. Perkumpulan Kartini Semarang b. Putri Mahardika Jakarta c. Maju Kemulaiaan Bandung d. Wanita Rukun Santosa Malang e. Budi Wanita Solo f. Kerajinan Amal Setia Kota Gadang g. Ina Tuni Ambon, dan sebagainya Mereka juga menerbitkan majalah, surat kabar dan brosur-brosur. Misalnya: Putri Hindia (Bandung), Sunting Melayu (Bukit Tinggi), Putri Mahardika (Jakarta) dan lain-lain. Sejalan dengan gerakan pemuda, pada tangal 22 Desember 1928 diselenggarkan Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta. Mereka berhasil membentuk Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI). Peristiwa berhasil terbentuknya PPI ini diperingati sebagai “ Hari Ibu”. http://campusnancy.blogspot.co.id/2012/07/peranan-pers-dan-peranan-wanita-dalam.html

Comments