MAKALAH FIQIH IBADAH - SHADAQAH, HADIAH, HIBAH, WASIAT, WAKAF

MAKALAH FIQIH IBADAH - SHADAQAH, HADIAH, HIBAH, WASIAT, WAKAF


BAB I PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang

Pada hakikatnya, manusia tidak hanya berhubungan dengan Tuhan yang menciptakan, tetapi juga berhubungan dengan manusia dan alam sekitarnya. Setiap muslim hendaknya selalu membiasakan diri bersikap dan berperilaku baik memiliki kepedulian sosial, belas kasih, peka terhadap orang lain yang perlu dibantu. Kepedulian sosial itu dapat diwujudkan dalam bentuk, seperti mewakafkan sesuatu yang bermanfaat bagi khalayak, memberikan hibah, sedekah kepada mereka yang membutuhkan, dan hadiah sebagai penghormatan dan kasih sayang. Memperbanayak berbuat kebaikan kepada orang lain dengan cara memberikan sesuatu yang kita miliki merupakan perbuatan mulia dan dianjurkan oleh syariat Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penjelasan tentang Shadaqah?
2. Bagaimana penjelasan tentang Hadiah?
3. Bagaimana penjelasan tentang Hibah?
4. Bagaimana penjelasan tentang Wasiat?
5. Bagaimana penjelasan tentang Wakaf?

 C. Tujuan

1. Untuk mengetahui penjelasan tentang Shadaqah
2. Untuk mengetahui penjelasan tentang Hadiah
3. Untuk mengetahui penjelasan tentang Hibah
4. Untuk mengetahui penjelasan tentang Wasiat
5. Untuk mengetahui penjelasan tentang Wakaf

 BAB II PEMBAHASAN

A. SHADAQAH, HADIAH, HIBAH, WASIAT, WAKAF

a. Shadaqah

1. Pengertian Shadaqah Shadaqah secara bahasa berasal dari huruf shad, dal, dan qaf, serta dari unsur ash-shidq yang berarti benar atau jujur. Shadaqah menunjukkan kebenaran penghambaan seseorang kepada Allah swt. Secara etimologi, sedekah ialah kata benda yang dipakai untuk suatu hal yang diberikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian Shadaqah adalah pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan tanpa mengharapkan pengganti pemberian tersebut.

2. Hukum Shadaqah Hukum Shadaqah itu disunnahkan dan dianjurkan untuk dikeluarkan kapan saja.[14] Dalam al-Qur’an, Allah menyebutkan banyak ayat yang menganjurkan untuk berShadaqah, diantaranya Qur’an surat Yusuf: 88, Artinya: “Dan bersedekahlah kepada kami, sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah.” (QS. Yusuf:88).[15] Dan juga sesuai dengan sabda Rasul: “Sesungguhnya sedekah memadamkan amarah Tuhan dan menolak kematian yang buruk.” (HR. At-Tirmidzi, dan Ia mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan).[16]

b. Hadiah

 1. Pengertian Hadiah Hadiah adalah pemberian sesuatu yang bermanfaat dari seseorang kepada orang lain sebagai penghormatan tanpa mengharap gantinya hanya untuk mencari rida Allah swt. hadiah ini diberikan bukan karena iba atau rasa kasihan, tetapi penghargaan atas prestasi atau reputasi seseorang .

2. Hukum Hadiah Dasar hukum disyariatkannya hadiah adalah firman Allah swt. dan sunah Rasulullah saw.
 • firman Allah swt Artinya: “kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati. (Q.S. an-Nisa/4:4)
• Sunah Rasulullah saw. Artinya: “janganlah menganggap remeh pemberian seorang tetangga, walaupun hanya berupa kaki kambing. ( H.R. al-Bukhari: 2378 dan Muslim: 1711)[18]

c. Hibah

1. Pengertian Hibah Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah hibah yaitu: “akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela”.[9] Didalam syara” sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut disebuti’aarah (pinjaman).[10]

 2. Hukum Hibah Hukum hibah adalah sunah, yakni jika dikerjakan akan memperoleh pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.[11] Adapun barang yang sudah dihibahkan tidak boleh diminta kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya dalam sabda Nabi : “Tidak halal bagi seseorang yang telah memberi sesuatu pemberian atau menghibahkan suatu hibah atau menarik kembali kecuali orang tuua yang memberi kepada anaknya”.(HR.Abu Daud).[12]

 d. Wasiat

1. Pengertian Wasiat Kata wasiat (washiyah) diambil dari kata washshaitu asy-syaia, uushiihi, artinya aushaltuhu (aku menyampaikan sesuatu). Maka muushii (orang yang berwasiat) adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia hidup untuk dilaksanakan sesudah dia mati (Sayyid Sabiq, 1987 : 230). Menurut Amir Syarifuddin secara sederhana wasiat diartikan dengan: “ penyerahan harta kepada pihak lain yang secara efektif berlaku setelah mati pemiliknya “.[1] Menurut istilah syara’ wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati (Sayyid Sabiq, 1987 : 230). Wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia membuat dan berwasiat dalam keadaan sedang tidak sehat, artinya bukan ketika menjelang ajal. Wasiat dapat dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang ditumpahkan kepada orang yang diberi wasiat. Oleh karena itu, tidak semua wasiat itu berbentuk harta. Adakalanya wasiat itu berbentuk nasihat, petunjuk perihal tertentu, rahasia orang yang memberi wasiat, dan sebagainya (Beni Ahmad Saebani, 2009 : 343). Dari berbagai definisi tersebut dapat di jelaskan bahwa wasiat adalah pemberian seseorang pewaris kepada orang lain selain ahli waris yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

2. Hukum Wasiat Menurut Sayyid sabiq, hukum wasiat itu ada beberapa macam yaitu :

• Wajib Wasiat itu wajib dalam keadaan jika manusia mempunyai kewajiban syara’ yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum dilaksanakan, atau amanat yang harus disampaikan, atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahui sselain dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan. [4]
• Sunah Wasiat itu disunatkan bila diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang saleh.
• Haram Wasiat itu diharamkan jika ia merugikan ahli waris. Wasiat yang maksudnya merugikan ahli waris seperti ini adalah batil, sekalipun wasiat itu mencapai sepertiga harta. Diharamkan juga mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau tempat hiburan.
• Makruh Wasiat itu makruh jika orang yang berwasiat sedikit harta, sedang dia mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya. Demikian pula dimakruhkan wasiat kepada orang yang fasik jika diketahui atau diduga keras bahwa mereka akan menggunakan harta itu di dalam kefasikan dan kerusakan.

e. Wakaf

1. Pengertian Wakaf Dalam kompilasi hukum Islam, wakaf adalah perbuatan hukum seorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagaian dari harta benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Wakaf menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 adalah perbuatan hokum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

 2. Hukum Wakaf Hukum wakaf adalah sunah. Salah satu dalil yang menjadi dasar amalan wakaf adalah Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia selalu berbuat kebaikan, seperti yang terdapat dalam surah al-Hajj ayat 77.[1] Artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, Sujudlah, dan sembahlah Tuhan mu dan berbuatlah kebaikan agar kamu beruntung.”[2]

• Dasar Khusus Wakaf Dasar khusus mengenai amalan wakaf dapat dijumpai dalam kisah sahabat Rasulullah saw. yang mewakafkan hartanya, yakni Umar bin Khattab, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Nailul Autar karya seorang ulama al-Azhar (kairo) Syekh Faisal bin Abdul Aziz al-Mubarak sebagai berikut: Artinya: “lalu apa yang hendak engku perintahkan kepadaku?” Maka jawab Nabi, “ jika engkau suka, tahanlah pangkalnya dan sedekahkanlah hasilnya!” lalu Umar menyedekahkan dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh diberikan, dan tidak boleh diwarisi, yaitu untuk orang-orang fakir, keluarga dekat, memerdekakan hamba sahaya, untuk jalan Allah, untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan (ibnu sabil), dan menjamu tamu. Tidak berdosa orang yang mengurusinya itu untuk memakan sebagiannya dengan cara yang wajar dan untuk member makan (kepada keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan hak milik. Dalam satu hadis yang lain, Ibnu Sirin berkata,”Dengan syarat jangan dikuasai pokoknya.” (H.R.al-Bukhari: 2532). Maksud dari pernyataan jika engkau suka, tahanlah pangkalnya dan sedekahkanlah hasilnya, adalah bahwa tanah tersebut boleh diambil manfaatnya.[3]

Comments

  1. Assalamu'alaikum wr wb
    Mau tanya kak.
    Siapa nama pengarang makalah ini? Soalnya mau buat daftar pustaka tugas fiqih yanh sumber nya aku ambil dari web ini.
    Mohon di jawab ya ka:)
    Wassalamu'alaikum wr.wb

    ReplyDelete

Post a Comment