ANALISIS JURNAL DESKRIMINASI ETNIS TIONGHOA DI INDONESIA
No. Judul Latar belakang tujuan Metode penelitian Landasan teori hasil kesimpulan saran
1.
2.
3. Kasus kerusuhan satu tujuh satu di kota Mataram Nusa Tenggara Barat tahun 2000
Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme
Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat Majemuk Indonesia1
Pluralitas masyarakat dimanapun berada mrupakan realitas yang terwujud dalam bentuk perbedaan secara kodrati dalam kehidupan sosial. Pluralitas yang terdapat pada proses kehidupan masyarakat kita terdiri atas dua bentuk, yakni pluralitas horizontal dan pluralitas vertikal. pluralitas horizontal misalnya perbedaan etnis, ras dan agama. Sedangkan pluralitas vertikal misalnya perbedaan peran pemerintah dan rakyat, perbedaan tingkat pendidikan, serta perbedaan ekonomi
Soeharto telah memperkenalkan kebijakan asimilasi terhadap etnik Tionghoa sebagai sebuah praktik politik yang tidak pernah dilakukan pada masa sebelumnya.
Selama periode parlementer (1949–1958) yang berazaskan demokrasi, kebijakan asimilasi sulit dan bahkan tidak mungkin diterapkan karena asimilasi melawan prinsip-prinsip umum demokrasi.
Hal ini tercermin dalam kebijakan pemerintah untuk membatasi pendaftaran di sekolah-sekolah menengah Tionghoa serta jumlah dan pe- ngelolaan koran-koran
Tionghoa.
Dalam masyarakat majemuk seperti Indo- nesia, keanekaragaman sukubangsa telah menghasilkan potensi konflik antarsukubangsa dan antara pemerintah dengan suatu masya- rakat sukubangsa.
Masyarakat majemuk seperti Indonesia, tidak hanya beranekaragam corak dan kebu- dayaan sukubangsanya secara horizontal. Me- reka juga secara vertikal berjenjang dalam ke- majuan ekonomi, teknologi, dan organisasi so- sial politiknya (Suparlan 1979). Banyak orang Indonesia tidak menyadari bahwa dalam masyarakat Indonesia terdapat golongan dominan dan minoritas. Hal itu terwujud dalam tindakan-tindakan yang dilakukan dalam berbagai interaksi, baik interaksi individual maupun kategorial. Di lain pihak, baik tingkat nasional seperti posisi orang Cina yang minoritas dibandingkan dengan pribumi
-Analisis konflik diskriminasi di Mataram NTB
-Penyelesaian konflik
-Analisis diskriminasi etnis pada masa presiden soeharto yang berbentuk asimilasi.
-Selesainya peraturan yang ditetapkan presiden soeharto yang bersifat deskriminasi terhadap etnis tionghoa
Deskriptif Kualitatif
Deskriptif Kualitatif
Deskriptif Kualitatif Di provinsi Nusa Tenggara Barat, tingginya tingkat keragaman etnis dan agama tidak hanya faktor imigran, tetapi masyarakat didaerah itu memang terdiri atas berbagai etnis yang beragama.
Keragaman itu terdapat pula di kota Mataram. Keragaman etnis tersebut dalam kasus tertentu menunjukkan adanya potensi integrasi, disamping rawan bagi timbulnya konflik.
Dalam mengahadapi etnis Cina pada kerusuhan Maret 1997, masyarakat etnis non Cina di Lombok justru membentuk satu kesatuan, meskipun hanya sementara, untuk menghadapi entis Cina myang cenderung mengasai sentra sentra ekonomi
Namun dalam perkembangannya, keragamanetnis dan agama ini acap kali muncul sebagai salah satu sumber konflik.
Kondisi demikian selanjutnya diperkuat oleh fakta bahwa perbedaan Agama di Mataram dalam beberapa hal sama sejalan dengan perbedaan etnis, terutama dalam kasus masyarakat suku Bali, Buton, Manado dan minoritas Cina. Suku suku tersebut menganut agama yang berbeda dengan mayoritas masyarakat pribumi Mataram yang mayoritas beragama Islam.
Kebijakan asimilasi menyeluruh baru diterapkan selama
pemerintahan Soeharto yang
otoriter (1966–1998).
Soeharto sendiri menyatakan secara jelas bahwa warga negara Indonesia keturunan Cina harus segera berintegrasi dan
berasimilasi dengan masya-
rakat Indonesia asli.
Namun, dalam praktik seringkali
asimilasi berjalan dengan kabur
dan bertentangan dan bahkan
dalam beberapa kebijakan
Soeharto cenderung anti
asimilasi karena pertimbangan
kondisi politis
Apabila mereka (tionghoa) ingin menjadi orang Indonesia, jalan
satu-satunya yang dapat diterima
adalah dengan asimilasi ke
dalam penduduk asli Indonesia
Dengan kata lain, orang-orang
Tionghoa diharapkan untuk
melepaskan karakteristik khas
ke- tionghoaan mereka dan
mengenakan ciri khas budaya penduduk asli.
Kesukubangsaan yang muncul
dalam interaksi sosial adalah
sebuah kekuatan sosial yang
tidak bisa ditawar.
Dalam kehidupan orang
Indonesia, sukubangsa adalah
sebuah ide, kenyataan, dan
ideologi yang mempunyai
kekuatan sosial yang tidak bisa
ditawar ataupun dibendung.
Kesukubangsaan yang semakin rapuh ini diperkuat oleh pandangan kesukubangsaan dari pemerintah yang melihat orang Cina sebagai satuan sukubangsa pendatang walaupun mereka telah menjadi warganegara Indonesia. Pandangan kesuku- bangsaan ini diwujudkan dalam bentuk perundangan yang diskriminatif berkenaan dengan status kewarganegaraan mereka: seorang anak Cina dari orang tua yang warganegara Indonesia masih harus secara aktif memohon pemberian kewarganegaraan Indo- nesia kepada pemerintah, sedangkan anak orang Arab tidak diharuskan melakukan hal itu
Tingginya tingkat keragaman baik dibidang agama, ras suku, etnis di Mataram memnag menjadi penyebab adanya konflik dan diskriminasi. Pada bulan maret 1997 masyarakat Mataram mendiskriminasi etnis tionghoa dengan menunjukan sikap ketidsukaan mereka terhadap etnis cina, karena mereka dianggap lebih menguasai sentra sentra ekonomi masyarakat di Mataram. Terlebih agama mereka tidak sama dengan agama masyarakat mataram pada umumnya yang mayoritas muslim.
Namun akhirnya ketegangan di mataram dapat terselesaikan dengan upaya pemerinth bersama tokoh agama dan tokoh masyarakat bekerjasama menyampaikan perdamain. Agar masyarakat bisa saling menghargai satu sama lain.
Multikulturalisme didefinisikan sebagai pengakuan dan dorongan terhadap pluralisme budaya; multi-budaya menjunjung tinggi dan berupaya untuk melindungi keanekaragaman budaya. tujuan utamanya, yaitu: untuk memelihara keselarasan antara kelompok-kelompok etnis yang beraneka-ragam dan untuk men- strukturkan hubungan antara negara dan minoritas etnik Konflik dan diskriminasi nyata terjadi di mataram pada tahun 1997 karena tinginya tingkat keragaman. Peristiwa itu terjadi karena perasaan cemburu yang berlebihan terhadap etnis tionghoa yang mampu menguasai sentra sentra ekonomi masyarakat mataram. Seharusnya kejadian itu tidak terjadi apabila masyarakatnya bisa saling menghargai dan menghormati serta menjadikan keragaman dan perbedaan adalah sebgai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
jatuhnya Soeharto setelah demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan anti- Cina pada bulan Mei 1998 konsep bangsa In- donesia mulai mengalami perubahan secara bertahap. Abdurrahman Wahid (yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur), mengajukan sebuah konsep bangsa Indonesia yang dimodifikasikan.
Gus Dur menawarkan konsep bangsa In- donesia yang nonras.
Ia menga- takan lebih lanjut bahwa Indonesia terdiri bukan hanya dari dua ras, melainkan tiga, yaitu: ras Melayu, Austro-Melanesia dan Cina. Ketiga ras tersebut yang membentuk kebangsaan kita.
Masyarakat Indonesia yang majemuk, yang menekankan pentingnya kesukubangsaan, akan selalu menempatkan orang Cina sebagai orang asing walaupun mereka berstatus sebagai WNI. Upaya-upaya secara sosial, ekonomi, dan politik dari orang Cina di Indonesia dalam me- nunjukkan bahwa mereka itu bagian dari masyarakat Indonesia adalah yang utama. Pada intinya
orang Cina di Indonesia, ingin diperlakukan sebagai orang Indonesia baik secara hukum maupun secara sosial dan budaya. Mereka ingin diperlakukan sama oleh sukubangsa manapun, tanpa diskriminasi walaupun mereka keturunan asing yang bukan pribumi Indcnesia.
Lebih banyak membahas kasus kerusuhan antar agamanya, diskriminasi etnisnya terlalu singkat, padahal menarik bila dibahas lebih lanjut.
Pembahasannya terlalu panjang. Bila diringkas namun jelas pasti lebih asik.
Bahasa penulisannya terlalu mutar mutar.
Lebih sulit dipahami.
Comments
Post a Comment